pages

June 27, 2011

Mary Stevenson: Footprints In The Sand



Footprints in the Sand Poem

Last night I had a dream. 
I dreamed I was walking along the beach with the Lord. 
Across the sky flashed scenes from my life. 
For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand: 
one belonged to me, the other to the Lord.

 After the last scene of my life flashed before me, 
I looked back at the footprints in the sand. 
I noticed that at many times along the path of my life, 
especially at the very lowest and saddest times, 
there was only one set of footprints.
This really troubled me, so I asked the Lord about it.  
“Lord, you said once I decided to follow you, You’d walk with me all the way.
But I noticed that during the saddest and most troublesome times of my life, 
there was only one set of footprints.
I don’t understand why, when I needed You the most, You would leave me.”

The Lord replied, “My son, my precious child, I love you and I would never leave you. 
During your times of suffering, when you could see only one set of footprints, 
it was then that I carried you.”

Di bawah ini, saya tampilkan video Puisi 'Footprints in The Sand' di youtube.
Semoga menikmati...





Teman terkasih,
Pernah dengar atau membaca puisi 'Footprints in the sand' di atas?
Saya rasa kita pasti sama-sama menyukai puisi ini, karena puisi ini memberikan suatu analogi tentang perjalanan kehidupan yang kita lalui.
Dikisahkan di dalam puisi tersebut tentang seseorang (penulis puisi ini) yang bermimpi.
Bermimpi berjalan sepanjang pantai bersama Tuhan.
Di langit terlihat kilas balik kehidupan-nya yang terpampang seperti film.
Terlihat ada dua jejak kaki di pasir.
Satu milik Tuhan, dan satu adalah milik-nya.
Setiap adegan kehidupan melintas di depan-nya.
Ia sering menjumpai titik-titik dimana ia merasa menjadi orang yang paling lemah dan tak berdaya. Dan yang membuatnya bertanya adalah: Mengapa di titik-titik itu, ia hanya melihat satu jejak kaki. Satu jejak kaki lainnya sering menghilang dalam titik-titik kelam itu.
Dan akhirnya, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Tuhan.
"Tuhan, mengapa di saat-saat diaman aku sangat membutuhkan diri-Mu, justru Engkau meninggalkan diriku sendirian. Bukankah Engkau telah berjanji pada-ku bahwa ketika aku memutuskan untuk mengikuti Engkau maka Engkau sekali-kali tidak akan pernah meninggalkan diriku??


Dan dengan lembut, Tuhan menjawab pada-nya:
"Anak-Ku yang Ku kasihi, kau sangat berharga di mata-Ku.
Aku tidak pernah meninggalkan-mu.
Memang benar hanya ada satu jejak kaki yang kau lihat di masa-masa paling kelam dalam hidupmu itu, dan itu terjadi karena pada saat-saat itulah Aku harus menggendong diri-mu."


Teman-teman, 
sambil menulis postingan blog kali ini, saya sedang bergelinang air mata.
Kadang merasa sangat sendiri ketika menghadapi titik-titik kritis dalam hidup saya.
Kadang bertanya apakah benar Tuhan tak pernah meninggalkan saya.
Namun puisi ini membuat saya berdecak kagum kepada Tuhan.
Karena justru dalam titik-titik itu saya benar2 berlari pada-Nya.
Justru dalam titik-titik tersebut saya benar-benar menikmati kehadiran-Nya.
Justru dalam titik-titik tersebut saya benar-benar berserah pada-Nya.
Justru dalam titik-titik itu saya sering berlutut, menangis dan berdoa.
Dan memang benar, sampai di tahap ini, saya melewatinya.
Tapi itu bukan karena kuat, hebat dan tangguh-nya saya.
Namun, semata-mata karena IA menggendong saya dan menolong saya.
Yah,, Tuhan memang baik, sungguh amat baik..
Ini cerita saya, mana cerita anda??
*(kayak cerita Indomie ajaa...hehehhe)

Teman,
Saya mencoba membaca beberapa sumber tentang penulis puisi ini karena bagi saya, pasti ada sesuatu yang menarik dalam kehidupannya sehingga ia dapat menghasilkan puisi yang bermakna seperti ini. Dan memang dugaan saya, adalah benar adanya.
Puisi ini sangat terkenal dan pernah terjadi perdebatan untuk mengetahui penulis asli puisi karena beberapa orang mengklaim diri sebagai pengarang puisi ini.
Namun, akhirnya diketahui bahwa Mary Stevenson-lah yang mengarang puisi refleksi kehidupan yang dalam itu.
Mary Stevenson, mengalami masa-Mary mengalami kehidupan yang sulit dan penuh air mata.
Ia adalah satu di antara 8 saudara.
Usia 6 tahun ia harus kehilangan ibu kandung karena meninggal dunia dan sejak itu ayahnya membesarkannya mereka seorang diri.
Mereka tumbuh dan menghadapi hidup yang keras juga dengan perjuangan yang keras.
Pada usianya yang ke-16 tahun, Mary menikah dan mengalami perlakuan yang sangat kasar dalam rumah tangganya.
Akhirnya, ia harus berusaha mencari perlindungan, lari dari rumahnya dan tinggal di pusat reservasi bersama bayi kecilnya.

Ketika mengetahui bahwa suaminya telah pergi untuk berjuang di perang dunia ke-II, maka ia memberanikan diri untuk pulang ke rumah.
Namun, penderitaan-nya terus berlanjut karena setelah suaminya pulang dari berperang, ia memaksa Mary untuk bekerja menghasilkan uang sebagai penari dan pemain teater.
Suaminya mengancam akan memisahkan Mary dengan anaknya jika tidak menuruti semua tuntutannya. Mary harus menjalani tahun-tahun sulit untuk memperjuangkan agar bisa mendapatkan anaknya kembali.
Di usianya yang mendekati umur 40 tahun, Mary pindah ke Los Angeles, di situlah untuk pertama kalinya ia melihat puisi yang pernah ditulisnya telah di cetak dengan keterangan 'Anonymous' (tidak diketahui nama pengarang).

Mary bertemu dengan seorang pria bernama Bazil Zangare yang kemudian ia sebut sebagai 'cinta dalam hidup-nya' dan akhirnya menajdi suaminya. Mary aktif dalam kegiatan sosial selama bertahun-tahun. Menjadi perawat dan aktif dalam komunitas relawan untuk banyak kegiatan.

Beberapa orang mendesak Mary agar memperjuangkan hak cipta puisi tersebut.
Dan pada saat itu ternyata puisi itu sudah di cetak secara luas.
Perjuangan untuk mengklaim puisi itu pun menemukan hambatan karena beberapa orang pun sudah mengklaim sebagai penulis asli puisi itu.
Baru di tahun 1984, saat sedang membersihkan rumahnya, Mary menemukan gulungan-gulungan kerta berisi puisi-puisi yang pernah ditulis olehnya, dan salah satu diantaranya adalah coretan tangan asli dari puisi 'Footprints In The Sand' sebelum di salin.
Salinan pertama itu-lah yang hilang dan mungkin saja orang yang menemukan gulungan itu dan mempublikasikan puisi tersebut.
Setelah itu, dilakukan reset terhadap kertas original yang digunakan Mary untuk menulis puisi itu. Dan terbukti, bahwa memang Mary-lah penulis asli dari puisi tersebut karena semua klaim atas puisi tersebut tidak memiliki bukti sekuat Mary.
Dengan demikian, Mary berhak menerima semua hasil dari cetakan puisinya.


Pergumulan Mary terus berlanjut,
 Ia pun harus menemani sang suami yang berjuang melawan penyakit jantung.
Bazil akhirnya meninggal, dan saat itupun Mary mulai berpikir untuk mengubah kegiatan-nya.
Ia berhenti aktif di kegiatan sosial dan mulai kembali menulis puisi.
Ia menyadari bahwa dengan kata-kata ia dapat memberi semangat pada orang lain agar dapat berjuang melewati masa-masa sulit.
Selain itu, Ia juga ingin berbagi dan menghabiskan waktu bersama keluarganya. 

Hmm.. Begitulah cerita tentang Mary Stevenson..
Setiap orang mempunyai proses hidup yang berbeda-beda.
Tidak dapat dibandingkan satu dengan yang lain.
Namun, pada akhirnya apapun yang kita hadapi, seberat apapun pergumulan yang datang silih berganti dalam hidup kita, hanya kita yang bisa menghadapinya.
Hanya kita yang bisa melaluinya.
Tak bisa untuk berlari.
Tak bisa untuk menghindar.
Semuanya terjadi untuk dihadapi.

Mary Stevenson, dalam kondisi yang tak mengenakkan sekalipun, 
ia tetap belajar melaluinya dengan keyakinan.
Terlihat dari puisi-nya yang sangat jelas mendeskripsikan bagaimana keyakinannya dalam menjalani hidup ini.
Bahwa ia akan selalu dapat menanggung, karena Tuhan senantiasa berjalan bersamanya.

Semoga kisah hidup Mary Stevenson memotivasi kita untuk berhenti mengeluh dan mengeluh dengan semua hal yang menurut kita 'kurang baik' yang sering terjadi dalam hidup kita. Membuat kita merasa yakin dapat melewati setiap pergumulan terberat sekalipun yang sedang atau mungkin yang akan terjadi dalam hidup kita.
Kita tetap akan memenangkannya.

Tuhan memberkati..