pages

February 01, 2011

Manusia Jijik, Tuhan Tilik


Beberapa hari lalu, dalam rapat Pengurus Alumni salah satu Yayasan Pemberi Beasiswa untuk anak Indonesia, dimana saya menjadi salah satu anggota pengurus di dalamnya. Saya bertemu dengan seorang wanita yang cukup menarik. Wanita itu berumur sekitar 50an tahun. Ia seorang pendiri beberapa Yayasan-yayasan Sosial. Pertama-kali ia menyapa, saya dapat merasakan aura yang berbeda dari cara –nya melihat. Serasa ada suatu kehangatan dan penerimaan yang tulus dari seseorang yang baru dikenal.

Dalam diskusi, dia lebih diam dan memperhatikan kami berbicara dan sepertinya sedang menganalisa kami lebih dalam berdasarkan pernyataan dan ide-ide yang kami utarakan. Sewaktu makan siang, kami berbincang-bincang dengan-nya tentang sepak terjangnya yang sudah tidak terhitung lagi dalam semangat kepedulian terhadap permasalahan sosial. Yah, saya cepat sekali kagum dengan orang-orang seperti ini. Orang-orang yang secara alami merespon dengan tepat kebutuhan terdalam dari beberapa kelompok-kelompok orang yang diabaikan.

Wanita ini melakukan hal-hal sederhana dengan kepekaan dan pemaknaan yang sangat mendalam. Dia bukan seorang Miss.Universe yang ketika mengunjungi penderita HIV/AIDS akan dikelilingi oleh beberapa kamera di tiga angle berbeda untuk mendapatkan gambar terbaik yang memperlihatkan ekspresi wajah yang tepat. Dia juga bukan seorang politisi, yang pergi mengunjungi warga kurang mampu dan membagikan sembako sambil memberi keterangan kepada pers tentang kebesaran hati yang sedang dilakonkan di depan media. Dia juga bukan seorang tokoh agama yang radikal, yang sedang memberitakan pesan humanis dan kasih kepada khalayak umum. Dia hanyalah seorang wanita sederhana, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga yang menemukan arti hidupnya.

Ketika saya mendengarnya bercerita tentang bagaimana ia terlibat dalam suatu Yayasan Transformasi Lepra dan menyuarakan agar kaum penderita Lepra jangan didiskriminasikan lagi oleh masyarakat, saya sangat tersentuh. Saya teringat beberapa hari yang lalu (27-01-2011), saya menerima SMS dari teman saya bernama Christopher Pentury… SMS itu berisi seperti ini :

Matius 8:1-4
Orang yang tidak layak untuk disentuh oleh manusia, dipandang layak untuk disentuh oleh Allah
Terlintas dengan cepat di dalam benak, film pendek tentang Tuhan Yesus yang menghabiskan waktu dan pelayanannya untuk kaum yang termarjinalkan.. 

Ayat 3 : And He reached out His hand and touched him..

Orang kusta dijamah, disentuh oleh-Nya tanpa ada interval waktu berpikir untuk mengolah pemandangan yang menjijikkan tentang si Kusta.. Tidak memikirkan apa kata orang banyak yang melihatNya menyentuh si Kusta yang dalam pengajaran saat itu merupakan orang-orang yang dikutuk karena banyak dosa. Tidak menghiraukan bahkan mengabaikan jika orang lain akan menjauhiNya karena sentuhanNya terhadap si Kusta. TindakanNya hanya digerakkan oleh satu alasan karena di dalam hatiNya tiba-tiba muncul suatu aliran luapan KASIH yang tak dapat tertahankan. Dalam cerita Tuhan menyembuhkan orang Kusta, sentuhan yang dilakukan Tuhan Yesus terhadap penderita kusta tersebut bukanlah sentuhan yang penuh ketakutan tapi tindakan responsif seseorang yang ingin menaruh belas kasihan yang sangat besar sehingga tidak mempunyai ruang kosong untuk mempertimbangkan hal lain.

Dalam pikiran saya tiba-tiba muncul suatu frame memori yang mengingatkan saya kejadian di bulan Desember 2009 yang lalu. Waktu itu, saya menjadi bagian dari rombongan Misi ke daerah pedalaman Kalimantan Barat. Kami melayani di sebuah desa dekat perbatasan Malaysia. Desa itu bernama Desa Tamong. Kami melakukan beberapa pelayanan seperti pelayanan anak, pertanian, pembangunan gereja, perkunjungan dan juga kesehatan. Pada waktu saya terlibat di pelayanan anak, saya sempat bertemu dengan seorang anak Tamong yang sedang menderita sejenis penyakit kulit seperti borok dan sudah berair seperti nanah di sekeliling telinganya. Dengan cepat, saya mengalihkan perhatian saya dari pandangan mengerikan tersebut kepada kerumunan anak-anak yang lain agar pandangan saya tidak tertuju pada daerah bagian telinga anak itu.. Saya sangat malu, sedih dan menyesal.. Mengapa perasaan seperti itu masih betah di dalam diri saya yang mengakunya seorang “wanita Kristiani’.. Wanita yang tahu hati Tuan-nya.. Saya membayangkan seandainya saja saya hidup pada saat Tuhan Yesus yang menghabiskan waktu pelayananNya bersama orang MISKIN dan orang SAKIT, saya akan menjadi orang yang menjauh dariNya, menjadi orang berusaha menghindari orang-orang yang dikasihi-Nya.. Dan yang pasti saya tidak akan tahan mengikutiNya kemana pun Dia pergi.. Karena dari kesaksian Alkitab, kita dapat mengetahui bahwa Tuhan Yesus banyak menghabiskan waktu pelayanan-Nya justru dekat dan bersama orang-orang seperti itu..
Yah.. Lagi-lagi menjadi pendengar memang MUDAH tetapi menjadi pelaku, itu yang SULIT.. 

Frenz,, 
Ketika kita mengaku bahwa kita adalah pengikut-Nya, murid-Nya, anak-Nya,,
Cara hidup dari Tuhan Yesus yang seperti apa yang telah menjadi bagian dalam hidup kita??
Ajaran dari Tuhan Yesus yang manakah yang telah kita usahakan untuk dilakukan dalam keseharian kita??
Sifat dan karakter apakah yang menandakan bahwa Ia adalah Bapa kita dan kita adalah anak-Nya??
Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus selalu kita refleksikan sepanjang perjalanan kehidupan kita.. Agar suatu saat ketika waktu itu tiba, Ia mendapati kita menjadi hamba yang setia.. Dan layak untuk masuk dalam Perjamuan Besar Kerajaan Sorga..

Created by Maya Basoeki - Jakarta : January 30, 2011



No comments: