Hari ini hari Pahlawan. Berbeda sekali rasanya, merayakan hari Pahlawan ketika masih di Surabaya. Gaung memori perjuangan yang menghiasi kota pahlawan akan terasa, bahkan sebulan sebelum perayaan. Delapan tahun menjadi bagian dari warga Kota Surabaya, dan terbiasa merayakan Hari Nasional dengan semangat perjuangan memang sangat berbeda dengan perayaan di kota Kupang, kota kelahiran saya. Benar-benar berbeda. Bukan membandingkan rasa Nasionalisme di kota Kupang dan Surabaya, tapi cara kita memperingati sejarah merupakan bentuk penghormatan yang menyatu dengan rasa cinta kepada tanah air.
Terakhir kali saya mengikuti upacara bendera adalah tahun 2004, ketika menjadi mahasiswa baru di Universitas Kristen Petra. Setelah enam tahun, di tahun 2010, di Kamp Nasional Mahasiswa yang diadakan oleh Perkantas Nasional di Bandung, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, tangis air mata membasahi pipi saya saat mendengarkan lagu: "Pada-Mu Negeri". Dengan latar belakang, video kondisi dan realita menyedihkan tentang Negeri Indonesia. Tanggal 17 Agustus 2010, merupakan hari pertobatan sebagai seorang warga Surga yang menyadari kewajibannya sebagai seorang warga Negara. Warga Negara yang sibuk memikirkan konsep pribadi, dan lupa membuka mata kepada Indonesia. Saya menangis karena saya malu pada Tuhan, saya begitu bergelora untuk salib, tapi ternyata hati saya hanya tergelitik melihat banyak dosa di negeri ini. Ketidakadilan, kebodohan, karakter jorok, kemiskinan, korupsi, pelecehan anak di bawah umur, kekerasan dalam Rumah Tangga, peperangan dan tumpah darah, seharusnya membuat saya berkabung untuk bangsa ini.
Catatan refleksi ini cukup menganggu saya. Saat saya bercokol di dalam ruang pergumulan untuk menjembatani Godly Knowledge dan Wordly Reality yang secara bergantian mengisi imajinasi saya tentang profil 'The Kingdom of God will be held on Earth'. Di keluarga.. Di tempat kerja.. Di Indonesia. Di dunia..
Di samping manusia yang telah ditebus mengarungi proses pemurnian sejati sejak deklarasi pertobatan-nya, secara bersamaan ia perlu mengambil perannya menebus bidang lain..
Tapi pada kenyataannya, saya, bukan orang lain, orang percaya yang memegang prinsip dualisme.. Masih sering melempar tanggung jawab itu kepada pemerintah ataupun gereja. Saya lebih suka menunjuk dan mengkambing hitamkan orang lain, tanpa melakukan introspeksi diri. Apa yang sudah kamu lakukan, maya? Apa yang sudah kamu korbankan?
Saya merasa tidak mempunyai sesuatu hal yang bisa dibanggakan..
Merasa mampu tetapi tidak berdaya..
Paling tidak, sekarang saya menangis dan itu kejujuran saya..
Memperingati diri ini, tentang budaya konsumerisme dan egoisme jangan menjangkit dan membelah menjadi sel kanker yang membunuh hati untuk jiwa-jiwa.
Cari jiwa sama dengan cari keadilan..
Cari jiwa sama dengan cari kebenaran..
Cari jiwa sama dengan membawa Yesus untuk diberikan kepada Indonesia..
Seperti Yesus yang harus dihancurkan, saya seharusnya dihancurkan juga untuk Indonesia..
Arrghhh... Saya berlebihan.. Tidak, saya mengatakan yang sebenarnya..
Saya malu, saya sedih karena datanglah Kerajaan-Mu di Indonesia terasa sangat sulit dan berat..
Saya berharap kemerdekaan di dalam Tuhan, tidak membuat saya lupa untuk mengerjakan kemerdekaan yang sejati untuk Indonesia..
Cari jiwa sama dengan membawa Yesus untuk diberikan kepada Indonesia..
Seperti Yesus yang harus dihancurkan, saya seharusnya dihancurkan juga untuk Indonesia..
Arrghhh... Saya berlebihan.. Tidak, saya mengatakan yang sebenarnya..
Saya malu, saya sedih karena datanglah Kerajaan-Mu di Indonesia terasa sangat sulit dan berat..
Saya berharap kemerdekaan di dalam Tuhan, tidak membuat saya lupa untuk mengerjakan kemerdekaan yang sejati untuk Indonesia..
No comments:
Post a Comment